Jika Anda pernah membaca karya karya Joko Pinurbo Jokpin tentulah Anda akan kerap tertawa lalu manggut manggut Itu karena Jokpin piawai betul berpuisi dgn humoris plus reflektif Puisi puisinya adalah candaan candaan yang anti puitik tetapi tepat di titik ini jugalah ia sangat estetis Jika Anda membaca cerpen cerpen Embah Nyutz ini tepikanlah ekspektasi cerpen sastra estetis apalagi gelap gulita Cerita cerita dalam buku ini sepenuhnya candaan humor sampai pada derajat yang bisa membuat Anda geleng geleng kepala Tak ada keteraturan struktur narasi apalagi estetika sastrawi Tak ada Semuanya serba tak teratur sesukanya semaunya Tetapi justru karena demikianlah gaya cerita yang dipilih Embah Nyutz ia seketika dapat diandaikan sebagai kesadaran baru dalam bercerita Satu lagi Sebagai pengusung aliran sufisme tidak jelas dengan kata lain ora cetho alias embuhlah alangkah pentingnya untuk mewaspadai kemungkinan timbunan makna dan hikmah di balik cerita ceritanya Ini penting saya utarakan Kini Anda bisa mulai membaca langsung cerpen cerpen beraliran sastra embuh ini sebutlah demikian dengan sebaiknya saran saja meletakkan seluruh ceritanya pada kotak demikian itu Jika candaan candaan sastrawi Jokpin telah sampai pada derajat jaminan candaan candaan sastrawi Embah Nyutz kiranya sangat tepat untuk didudukkan pada derajat wallahu a lam saja Edi AH Iyubenu pengamat masalah masalah Embah Nyutz tinggal di Yogyakarta Jika Anda pernah membaca karya-karya Joko Pinurbo (Jokpin), tentulah Anda akan kerap tertawa, lalu manggut-manggut. Itu karena Jokpin piawai betul berpuisi dgn humoris plus reflektif. Puisi-puisinya adalah candaan-candaan yang anti-puitik—tetapi tepat di titik ini jugalah ia sangat estetis. Jika Anda membaca cerpen-cerpen Embah Nyutz ini, tepikanlah ekspektasi cerpen sastra, estetis, apalagi gelap ...gulita. Cerita-cerita dalam buku ini sepenuhnya candaan, humor, sampai pada derajat yang bisa membuat Anda geleng-geleng kepala. Tak ada keteraturan struktur, narasi, apalagi estetika sastrawi. Tak ada! Semuanya serba tak teratur, sesukanya, semaunya. Tetapi, justru karena demikianlah gaya cerita yang dipilih Embah Nyutz, ia seketika dapat diandaikan sebagai “kesadaran baru” dalam bercerita. Satu lagi. Sebagai pengusung aliran “sufisme tidak jelas”, dengan kata lain “ora cetho alias embuhlah”, alangkah pentingnya untuk mewaspadai kemungkinan timbunan makna dan hikmah di balik cerita-ceritanya. Ini penting saya utarakan. Kini Anda bisa mulai membaca langsung cerpen-cerpen beraliran “sastra embuh” ini—sebutlah demikian—dengan sebaiknya (saran saja) meletakkan seluruh ceritanya pada kotak demikian itu. Jika candaan-candaan sastrawi Jokpin telah sampai pada derajat “jaminan”, candaan-candaan sastrawi Embah Nyutz kiranya sangat tepat untuk didudukkan pada derajat “wallahu a'lam” saja. —Edi AH Iyubenu, pengamat masalah-masalah Embah Nyutz, tinggal di Yogyakarta.