Bab 1 PENDAHULUAN Penelitian dalam buku ini dilatarbelakangi adanya pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa salah satu syarat bagi hakim adalah berjenis kelamin laki laki dzukrah 1 Sementara itu minoritas ulama mazhab lainnya memperkenankan perempuan2 menjadi hakim seperti ulama dari kalangan mazhab Hanafiyah hanya saja kebolehan ini dibatasi hanya pada kasuskasus perdata amwl saja Argumen yang digunakan ulama Hanafiyah adalah jika perempuan dapat menjadi saksi dalam persoalan muamalah dan tidak berlaku pada bidang lain maka ia dapat pula menjadi hakim dalam urusan muamalah perdata dan tidak pada kasus yang lain 3 1 Lihat Wahbah Zuhaili Al Fiqh al Islmy wa Adillatuh juz 8 Lebanon Dr alFikr al Mushir 2004 hlm 5937 dan Sayid Sabiq Fiqh as Sunnah juz 3 Libanon Dr al Fikr 1983 hlm 315 2 Ada tiga istilah yang diperdebatkan penggunaannya dan penyebutannya yaitu perempuan wanita dan betina Untuk istilah terakhir tidak terlalu dipersoalkan penggunaannya karena lebih cenderung digunakan untuk binatang Sementara untuk dua istilah lainnya timbul perbedaan mana yang paling pas digunakan perempuan atau wanita Pada buku ini digunakan istilah perempuan dengan alasan istilah ini lebih banyak digunakan di kalangan pejuang perempuan yang menghendaki kesetaraan Penggunaan istilah perempuan juga alasan konsistensi Meskipun sejatinya tidak ada perbedaan yang prinsip apalagi berpengaruh pada status dan harkat perempuan di antara dua istilah tersebut Sehingga penggunaan dua istilah tersebut tidak dipermasalahkan Lihat Sudarwati D Jupriono Betina Wanita Perempuan Telaah Semantik Leksikal Semantik Historis Pragmatik Jurnal FSU Limelight Vol 5 No 1 Juli 1997 3 Wahbah Zuhaili Al Fiqh al Islmy wa Adillatuh hlm 5937 1Bab 1 PENDAHULUAN Penelitian dalam buku ini dilatarbelakangi adanya pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa salah satu syarat bagi hakim adalah berjenis kelamin laki-laki (dzukrah).1 Sementara itu, minoritas ulama mazhab lainnya memperkenankan perempuan2 menjadi hakim, seperti ulama dari kalangan mazhab Hanafiyah, hanya saja kebolehan ini dibatasi hanya pada kasuskasus perdata (amwl) ...saja. Argumen yang digunakan ulama Hanafiyah adalah jika perempuan dapat menjadi saksi dalam persoalan muamalah dan tidak berlaku pada bidang lain, maka ia dapat pula menjadi hakim dalam urusan muamalah (perdata) dan tidak pada kasus yang lain.3 1 Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islmy wa Adillatuh, juz 8, (Lebanon: Dr alFikr al-Mushir, 2004), hlm. 5937 dan Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, juz 3, (Libanon: Dr al-Fikr, 1983), hlm. 315. 2 Ada tiga istilah yang diperdebatkan penggunaannya dan penyebutannya, yaitu perempuan, wanita, dan betina. Untuk istilah terakhir tidak terlalu dipersoalkan penggunaannya karena lebih cenderung digunakan untuk binatang. Sementara untuk dua istilah lainnya, timbul perbedaan mana yang paling pas digunakan, perempuan atau wanita. Pada buku ini, digunakan istilah perempuan dengan alasan istilah ini lebih banyak digunakan di kalangan pejuang perempuan yang menghendaki kesetaraan. Penggunaan istilah perempuan juga alasan konsistensi. Meskipun, sejatinya tidak ada perbedaan yang prinsip, apalagi berpengaruh pada status dan harkat perempuan, di antara dua istilah tersebut. Sehingga, penggunaan dua istilah tersebut tidak dipermasalahkan. Lihat Sudarwati D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik, Jurnal FSU Limelight Vol. 5 No.1, Juli 1997. 3 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islmy wa Adillatuh, hlm. 5937. 1