AADG ADA APA DENGAN GURU
WIDATI; ANGGIE ANDHINI PERTIWI
Telah di baca oleh 0 pemustaka, dengan total durasi baca 00:00:00
Deskripsi Buku
AADG Ada Apa Dengan Guru Sebuah Antologi Cerpen Inspiratif Jamal berdiri dengan menatap tajam ke arahku Darahku mendidih Berani sekali nih anak batinku Kenapa lihat Ibu begitu jiwa mudaku tertantang Maklumlah saat itu usiaku baru menginjak 24 tahun saat pertama aku diangkat menjadi guru dan langsung bertugas di daerah pinggiran Tanpa ada rasa hormat atau penyesalan dia menggeser tempat duduknya dengan kasar dan membuat anak anak yang lain kaget serta memperhatikan ulahnya Setelah itu dia ambil tasnya dan hilanglah kesabaranku Aku tarik bajunya dan dengan berani dia tepis tanganku lalu pergi meninggalkan kelas Setiap kelas ada saja Jamal Jamal yang lain Ketika diberi tugas sering tidak mengerjakan dan langganan berdiri di depan sambil mengerjakan tugas Tetapi mereka tidak seberani Jamal yang seolah menabuh genderang perang Siapa yang mencorat coret buku paket ini Kasar sekali bahasanya seperti anak yang tidak pernah dididik kampungan suaraku keras meluapkan emosi Kutatap satu persatu wajah wajah anak didikku Tak terkecuali wajah Jamal Entah mengapa prasangkaku ke sana tapi tak ada bukti Baiklah buat pengecut yang tidak berani mengakui Ibu tunggu di jalan kalau tidak berani di kelas tantangku dengan lantang Harga diriku seolah diremehkan Saat itu bukan naluri guru yang bicara namun jiwa istri prajurit yang terlalu pede tanpa pikir panjang bahwa jalanan yang aku lalui nanti bisa jadi membahayakan diriku jika ada yang nekat Seharusnya NKRI menjadi harga mati berubah menjadi harga diri menjadi tinggi sekali Siapa yang mencorat coret buku paket ini Kasar sekali bahasanya seperti anak yang tidak pernah dididik kampungan suaraku keras meluapkan emosi Kutatap satu persatu wajah wajah anak didikku Tak terkecuali wajah Jamal Entah mengapa prasangkaku ke sana tapi tak ada bukti Baiklah buat pengecut yang tidak berani mengakui Ibu tunggu di jalan kalau tidak berani di kelas tantangku dengan lantang Harga diriku seolah diremehkan Saat itu bukan naluri guru yang bicara namun jiwa istri prajurit yang terlalu pede tanpa pikir panjang bahwa jalanan yang aku lalui nanti bisa jadi membahayakan diriku jika ada yang nekat Seharusnya NKRI menjadi harga mati berubah menjadi harga diri menjadi tinggi sekali AADG (Ada Apa Dengan Guru)? Sebuah Antologi Cerpen Inspiratif Jamal berdiri dengan menatap tajam ke arahku. Darahku mendidih, "Berani sekali nih anak." batinku. "Kenapa lihat Ibu begitu?" jiwa mudaku tertantang. Maklumlah, saat itu usiaku baru menginjak 24 tahun saat pertama aku diangkat menjadi guru dan langsung bertugas di daerah pinggiran. Tanpa ada rasa hormat atau ...penyesalan, dia menggeser tempat duduknya dengan kasar dan membuat anak-anak yang lain kaget serta memperhatikan ulahnya. Setelah itu, dia ambil tasnya dan hilanglah kesabaranku. Aku tarik bajunya dan dengan berani dia tepis tanganku lalu pergi meninggalkan kelas. Setiap kelas ada saja Jamal-Jamal yang lain. Ketika diberi tugas sering tidak mengerjakan dan langganan berdiri di depan sambil mengerjakan tugas. Tetapi, mereka tidak seberani Jamal yang seolah menabuh genderang perang. "Siapa yang mencorat-coret buku paket ini? Kasar sekali bahasanya seperti anak yang tidak pernah dididik, kampungan!" suaraku keras meluapkan emosi. Kutatap satu persatu wajah-wajah anak didikku. Tak terkecuali wajah Jamal. Entah mengapa prasangkaku ke sana tapi tak ada bukti. "Baiklah, buat pengecut yang tidak berani mengakui, Ibu tunggu di jalan kalau tidak berani di kelas!" tantangku dengan lantang. Harga diriku seolah diremehkan. Saat itu, bukan naluri guru yang bicara namun jiwa istri prajurit yang terlalu pede tanpa pikir panjang bahwa jalanan yang aku lalui nanti bisa jadi membahayakan diriku jika ada yang nekat. Seharusnya NKRI menjadi harga mati berubah menjadi harga diri menjadi tinggi sekali. "Siapa yang mencorat-coret buku paket ini? Kasar sekali bahasanya seperti anak yang tidak pernah dididik, kampungan!" suaraku keras meluapkan emosi. Kutatap satu persatu wajah-wajah anak didikku. Tak terkecuali wajah Jamal. Entah mengapa prasangkaku ke sana tapi tak ada bukti. "Baiklah, buat pengecut yang tidak berani mengakui, Ibu tunggu di jalan kalau tidak berani di kelas!" tantangku dengan lantang. Harga diriku seolah diremehkan. Saat itu, bukan naluri guru yang bicara namun jiwa istri prajurit yang terlalu pede tanpa pikir panjang bahwa jalanan yang aku lalui nanti bisa jadi membahayakan diriku jika ada yang nekat. Seharusnya NKRI menjadi harga mati berubah menjadi harga diri menjadi tinggi sekali.
