Lihatlah betapa langit itu ingin kau kembali Bukankah biru nya yang indah dapat memantul pada matamu yang keruh Lalu dimana kau sekarang Tidak kah kau merindukan birunya yang begitu indah Memang bukan sebuah syair puisi Memang bukan sebuah lirik lagu Hanya saja langit tak pernah semerah darahku Gelap kelabu biru dan jingga yang selalu ku lihat terlukis indah pada kanvas Tuhan yang terbentang begitu luas Lalu mengapa mereka selalu berkata bahwa aku indah bak langit biru Bukankah itu sebuah kebohongan Dan langit tak pernah hancur Lalu bagaimana dengan tubuhku Dulu aku tak pernah mengerti apa yang ibu ucapkan kepadaku Wajar saja Ketika itu aku bagaikan sebuah buku yang tak pernah disentuh oleh tinta hitam Bersih bagaikan kain putih Senyum bahagia dengan lompatan kecil setiap saat nya Tak ada beban pada saat itu Semua terasa begitu bewarna bagaikan pelangi yang memancarkan seluruh warna dan keindahan nya Namun sekarang tak lagi sama Sudah sekitar lima tahun berlalu setelah kematian ibu adik dan aku Seorang pria duduk disofa sambil memegang buku ditangannya Wajahnya tampak lesu dengan mata yang merah dan bengkak Dia terlihat sangat sedih dan putus asa Tubuhnya sudah sangat kurus hingga garis pada tulang rahangnya terlihat begitu jelas Bagaimana kelanjutan kisahnya Baca selengkapnya pada kumpulan cerpenLihatlah, betapa langit itu ingin kau kembali. Bukankah biru nya yang indah dapat memantul pada matamu yang keruh? Lalu, dimana kau sekarang? Tidak kah kau merindukan birunya yang begitu indah? Memang bukan sebuah syair puisi. Memang bukan sebuah lirik lagu. Hanya saja, langit tak pernah semerah darahku. Gelap, kelabu, biru, dan jingga yang selalu ku ...lihat terlukis indah pada kanvas Tuhan yang terbentang begitu luas. Lalu, mengapa mereka selalu berkata bahwa aku indah bak langit biru? Bukankah itu sebuah kebohongan? Dan, langit tak pernah hancur. Lalu, bagaimana dengan tubuhku? Dulu, aku tak pernah mengerti apa yang ibu ucapkan kepadaku. Wajar saja. Ketika itu, aku bagaikan sebuah buku yang tak pernah disentuh oleh tinta hitam. Bersih bagaikan kain putih. Senyum bahagia dengan lompatan kecil setiap saat nya. Tak ada beban pada saat itu. Semua terasa begitu bewarna, bagaikan pelangi yang memancarkan seluruh warna dan keindahan nya. Namun, sekarang tak lagi sama. Sudah sekitar lima tahun berlalu setelah kematian ibu, adik, dan aku. Seorang pria duduk disofa sambil memegang buku ditangannya. Wajahnya tampak lesu dengan mata yang merah dan bengkak. Dia terlihat sangat sedih dan putus asa. Tubuhnya sudah sangat kurus, hingga garis pada tulang rahangnya terlihat begitu jelas. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Baca selengkapnya pada kumpulan cerpen